Sunday, February 16, 2020

Puisi untuk PB HMI - Petaka di Kongres 73 - Musikalisasi Puisi





Petaka di Kongres 73
Rekonsiliasi
Decak kagum membara di hati
Ketika Kanda-ku berteori, dari pemikir
Kafir hingga Ali Syariati, Yunda-ku yang lantang bicara Patriarki
Di 5 februari, Ayahanda
menitipkan panji

Tanah medan jadi saksi kongres
paling tragis bagi himpunan anak kandung revolusi.
Air mata membanjiri liang lahat
para pendiri, penjahat birokrasi merudapaksa ideologi.
Petaka tak dapat dipungkiri,
dari generasi ke generasi,

Kini, 73 tahun HMI berdiri,
Sepucuk surat sayatan hati ku layangkan lewat puisi ini
Islah atau Petaka di Kongres kali ini !

Kanda-ku Arya dan Respiratori,
Dinda meyakini, Kalian bukan
kader karbitan yang diorbit di kompetisi Training Ghoib, Maka camkan satu hal ini,
Kongres Medan memecah HMI jadi
dua sisi, Stop bicara nama baik organisasi, masing-masing merevisi konstitusi, maka
pasti
Kali ini, bukan dua tapi tiga PB
HMI

Kanda-ku Arya dan Respiratori,
Ayo Adu Taji Diplomasi
Dari badko ke Cabang, Cabang Ke
Cabang, yang kering pasti patah, yang kuat berkuasa,
Komisariat jadi linglung, KOHATI terkurung,
makin bingung, terseret dalam arus tukar untung, tradisi menyabung
HMI kini bertanduk, sibuk
menyeruduk, mengurus dapur.

REKONSILIASI
Kongres ke Kongres diamini,
harapan masyarakat indonesia di pundak HMI
Tapi tidak kali ini,
Selisi ideologi dari mereka yang mengaku
paling HMI, menginternalisasi orientasi hingga merusak tatanan organisasi
Kakanda ku, Yang terbaik adalah mengundurkan
diri

HMI tidak bicara perihal tahta Sejak
berdiri, apalagi mendulang pundi-pundi
Iman, Ilmu dan Amal di bawah mati
lalu damai di bawah panji-panji
Yang terbaik mengikuti hati nurani
Kader sejati bukan penghamba
ilusi

Kakanda perlu ngopi, berdua, di
kedai Hati!

Sunday, February 9, 2020

Tragedi pembunuhan di Kali Waci - Puisi



Air Mata di Timur Halmahera
Oleh. Trijan Abd Halim

Sejak mata membuka, terkisah dalam retina
Deras air yang mengalir, keruhnya ialah nestapa
Lalu jernihnya seumpama tawa
Dari sini, hidup dan kehidupan tanah ini

Lalu diam-diam gelap menyelinap
Seketika daun-daun tua berjatuhan hanyut terbawa arus kemalangan
Ada yang tidak biasa di pelupuk mata ananda
Pekik tangis memecah damai yang dipinta Batu lebar

Pijak langka kaki yang tua bersegera
Urat dari tangan keriput meregang kaku diatas semang
 Oh KasubaNyelo......
Kali Waci jadi mata yang melihatku tumbuh sedari tunas hingga berbuah
Kali Waci jadi mata yang melihatku menangis menahan sumpah amarah

Belantara Halmahera menelan nyawa, Bunga Sili dicekam sunyi
Cib Cebi dan Ngosno Ne berdalih
Aroma darah yang tumpah ruah, mengalir dalam derasnya air. Sisa-sisa potongan daging dari tubuh kami yang jatuh ke dasar kali, diperebutkan ikan-ikan bagai umpan
Kami dicincang bagai Binatang
Oh Suwong Re Dodadi.....
Kebahagian anak cucu terenggut dengan keji, Mama tertunduk pilu mengusap air mata di atas tepi
Satu persatu dari mereka menjadi Yatim Piatu

Sekali lagi
Keluargaku terbata-bata menahan napas dalam rintik air mata, bercerita
Campaka menyambut murung mereka diliang lahat, Sopan Re Hormat yang kami simpan, harus gugur tumbang dalam pikiran setiap kepala
Lalu Nenek menatap pasrah, pejuang keadilan yang melangkah tanpa daya
Naluri kebiadaban tumbuh subur menjadi parasit bagi norma dan kearifan

Bila mana langit telah memerah, genderang Tifa menderu haru di penjuru negeri
Lolos Kabil telah murka, Panglima menurunkan titah, dari hulu hingga ke bobane, Sudah saatnya aku datang memenuhi janji
Oh Tragedi.....
Aku bersumpah, demi Darah yang mengalir di Kali Waci

Sungguh Ironi yang tak digubris para petinggi, petaka yang sengaja diwarisi
Petisi demi petisi dari kami berkali-kali, disulap seumpama ilusi
Oh Petinggi ku yang Halu
Ku tabur bunga bersama Puisi ini

Dengarkan sekali lagi, Syair Lala Warisan tanah negeri
Atas nama kemanusiaan anak cucu meratap sedih
Akhiri Alamat duka ke tanah ini
Atau Mayatku siap kau cincang lagi

Sio re Minyow tailama, Minyow duka re balisa

Lukaku di Waci,
Fagogoru Tersakiti

Puisi MAHASISWA KAMBING TUA



Mahasiswa Kambing Tua
Teori sosial mandek dalam rotasinya di kepala
Training-training luar biasa digalakkan organ-organ berbagai suku latar belakang prinsip, ideologi dan agama
Kata-kata tak lagi jadi rahasia, orientasi dan cari nama hampir tak ada beda
Kampus kembali menampakkan wajahnya yang suram

Kamu yang dulu penuh semangat menginjakkkan kaki di taman kampus di pagi buta, kini malah jadi alat peraga, demo penyampaian laporan di atas meja
Lembar demi lembar teori yang kau kunya, entah apa, kran demokrasi universitas dibungkam terpenjara
apa yang kau dapat selama membaca ?
Kawan-kawan diusir keluar meninggalkan kampus secara paksa, kalian tuli dan buta tiba-tiba
Lalu kemana idealisme, yang katanya istimewa

Mahasiswa kekinian lupa tahta, warisan dan namanya
Maka mari sekali ku ingatkan
di waktu orde lama tumbang, reformasi di guncang, bulir-bulir darah bercucuran, kawan-kawan siaga penculikan dilarut malam
operasi senyap datang mengintai, loreng-loreng bersenjata datang dengan wajah garang
kawan lama dimana, entah pulang atau lari ketakutan, hilang ditelan maut, setingan tuan-tuan, untung saja tuhan masih sayang, aku disini bercerita pada kalian
kawan-kawan mudah
lelah aku menyaksikan tradisi pembodohan yang kau wariskan pada adik-adik atas nama penggodokan, penindasan dan doktrin yang kau bangun bermuara pada ketenaran, senior lebih paham maka adik harus dengar dan ikut arahan
lalu dilain kesempatan bangunan kejayaan ditawarkan, kau tampil dibaris terdepan mengamankan kepetingan
idealisme tergadaikan, kebenaran terlupakan, logika bersambung kenyataan, pikiranmu dirasuki pemuja setan

Mahasiswa Punya tugas dan tanggung jawab yang lebih besar, lebih dari sekedar berceloteh di media sosial atau ribut di kantin depan
Maka camkan
jika sampai saat kau dengar puisi ini lalu kau diam saja, sungguh aku minta bakar saja buku-buku yang kau susun diatas meja
tidak berguna,
hey anak muda, jika tak sanggup berbenah, memberi pengaruh pada sesama, maka pulanglah, jangan jadi kambing tua.



Puisi untuk BICOLI HALMAHERA TIMUR


Syair Tanah Tua
Negeri Matahari Terbit dan Terbenam
Semakin jauh membayang, Tanah Woso yang makin menua

Ku tatap sendu, penuh rindu
Semilir angin yang berhembus
Yang membawa luka jadi riang tawa, Sowoli ku yang asri nan indah, Sil yang memeluk Cef dengan mesranya
Deburan ombak yang berirama, Pulau Woto menyapa, pecah gelombang di ujung mata
Dodomi di kubur mama di sana

Pusaran angin di delapan penjuru mata angin
Anak negeri Fagogoru berceritra
Sejak bangun hingga senja
Ku saksikan wajah-wajah Syurga dalam kilatan cahaya


Lalu dengan apa akan ku ajak kau untuk datang menyapa
Sementara bujuk rayuku tak lagi sempurna

Dengar..!! Dengarkanlah
Syair-syair lala yang didendangkan mama tua
Lalu Kabata
Mantra-mantra suci yang terucap di bibir Tete yang duduk bersilah memejamkan mata
Cokaiba Masih ada
Darah masih merah

Jangan lupa
Tertuang dalam lembar-lembar kertas tua

Ketika dentuman tifa di Lolos Woso bergemuruh
Ketika Loe Encowol berdiri sekokoh langit
Ketika Mon Rewele mendekapmu
Kita adalah raja

Jangan banyak bertingkah, atau akan ku panggil paksa, roh-roh leluhur di bukit tua, tanah moyang kau anggap apa, Lolos Woso tidak bicara, sekali murka, setelahnya tiada

Oh Negeri Tercinta

Di atas telapak kaki yang tua, sepanjang pesisir di ufuk selatan Halmahera
Warisan Sangaji dan para kapita,
Momole di waktu berjaya,
Jainal Abidin Syah Pernah di sana, Memerintah di balik bukit dengan Gagah Perkasa
Bagaimana tidak, di pusaran Konflik mainan Hindia Belanda, Pasukan Gamrange siap taruh nyawa
Suba Tuan Tanah

Lalu kembali menutup mata

Tidaak
Ku lihat dengan mata, kalian bicara atas nama tanah tumpah darah, aku diam saja,
Ku lihat kalian pulang bawa nama, aku diam saja
Saling silang marajalela, injak saudara ganti nama, awas saja, saya orang pertama
Yang akan duduk memulai perkara
 
Oh Fagogoru
Sopan re hormat, budi re bahasa, ngaku re rasai
Legasi histori di tanah para kapita