Syair Tanah Tua
Negeri Matahari Terbit dan
Terbenam
Semakin jauh membayang, Tanah
Woso yang makin menua
Ku tatap sendu, penuh
rindu
Semilir angin yang
berhembus
Yang membawa luka jadi riang tawa,
Sowoli ku yang asri nan indah, Sil yang memeluk Cef dengan mesranya
Deburan ombak yang
berirama, Pulau Woto menyapa, pecah gelombang di ujung mata
Dodomi di kubur mama di
sana
Pusaran angin di delapan
penjuru mata angin
Anak negeri Fagogoru berceritra
Sejak bangun hingga senja
Ku saksikan wajah-wajah Syurga dalam
kilatan cahaya
Lalu dengan apa akan ku
ajak kau untuk datang menyapa
Sementara bujuk rayuku tak
lagi sempurna
Dengar..!! Dengarkanlah
Syair-syair lala yang didendangkan
mama tua
Lalu Kabata
Mantra-mantra suci yang terucap
di bibir Tete yang duduk bersilah memejamkan mata
Cokaiba Masih ada
Darah masih merah
Jangan lupa
Tertuang dalam lembar-lembar kertas
tua
Ketika dentuman tifa di Lolos
Woso bergemuruh
Ketika Loe Encowol berdiri
sekokoh langit
Ketika Mon Rewele mendekapmu
Kita adalah raja
Jangan banyak bertingkah,
atau akan ku panggil paksa, roh-roh leluhur di bukit tua, tanah moyang kau
anggap apa, Lolos Woso tidak bicara, sekali murka, setelahnya tiada
Oh Negeri Tercinta
Di atas telapak kaki yang tua,
sepanjang pesisir di ufuk selatan Halmahera
Warisan Sangaji dan para kapita,
Momole di waktu berjaya,
Jainal Abidin Syah Pernah di sana,
Memerintah di balik bukit dengan Gagah Perkasa
Bagaimana tidak, di pusaran Konflik
mainan Hindia Belanda, Pasukan Gamrange siap taruh nyawa
Suba Tuan Tanah
Lalu kembali menutup mata
Tidaak
Ku lihat dengan mata,
kalian bicara atas nama tanah tumpah darah, aku diam saja,
Ku lihat kalian pulang
bawa nama, aku diam saja
Saling silang marajalela,
injak saudara ganti nama, awas saja, saya orang pertama
Yang akan duduk memulai
perkara
Oh Fagogoru
Sopan re hormat, budi re
bahasa, ngaku re rasai
Legasi histori di tanah
para kapita
No comments:
Post a Comment