Radit
Terik sinar mentari siang itu tak ia hiraukan, nampak kerumunan orang yang berseliweran dengan seribu satu aktivitas, arus kendaraan darat maupun laut memadati area pelabuhan. Teriakan-teriakan buruh yang menawarkan jasa dan pedagang yang saling berebut tempat untuk menjajakan dagangannya, Tentu membuat mereka yang tidak terbiasa akan menggeleng-gelengkan kepala.
Seolah sudah menjadi rumah terindah yang ia tempati, dengan penuh semangat ia naik dan ikut membantu awak kapal yang mengangkut kendaran roda dua menuju Tidore.
“Woee Radit tarik tali tu” teriak salah satu awak kapal.
Dia pun dengan sigap melakukan apa yang diperintakan. Tak berselang lama kapal pun segera berangkat. Pasang surut gelombang laut diantara pulau Tidore dan Ternate seakan sudah menjadi teman akrabnya setiap hari, tak sedikit pun ada rasa takut dalam dirinya. Ditatapnya laut dengan penuh angan, percaya bahwa suatu saat ia pasti akan menemukan apa yang seharusnya ia temukan.
Sambil menunggu kapal merapat ke pelabuhan, ia memegang tali dan bernyanyi kecil sembari menggoyangkan badannya seirama. Setiap orang yang melihatnya akan berpikir bahwa ia sangat menikmati hidupnya, meski hanya sebagai buru pelabuhan.
Sesampainya kapal di pelabuhan Tidore, tak segan-segan ia pun langsung melompat ke tepian dan membantu para penumpang untuk menurunkan barang-barang bawaan. Radit terlihat sangat cekatan, tingkah lakunya menunjukkan bahwa ia memang sudah sangat terbiasa dengan hal-hal demikian.
“Ini ngana pe doi dua pulu ni”. Kata pemilik kapal
“Pi la makan kong. deng jang lupa abis itu bale kamari”. lanjutnya
“Makasih om”. jawab radit dengan wajah yang sumringa
Tanpa menunggu lama ia pun bergegas ke rumah makan, maklum sudah sedari tadi ia menahan amarah perutnya yang terus bergejolak minta di isi. Dalam perjalanan ia di hadang oleh beberapa temannya.
“Bagitu ee,, doi banya ee, hmm traktir dulu”. berkata salah seorang dari mereka.
“Ce trada, cuma in....”. Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, uangnya sudah lenyap dirampas oleh mereka yang langsung berlari meninggalkannya sendiri.
Perlahan menetes dan berguguran air matanya. Ia tak sanggup berbuat apa-apa. Fisiknya yang kecil membuat ia tak berdaya meski berkali-kali dibuli teman-temannya. Tinggalah ia dengan rasa lapar yang semakin membuat kakinya bergetar.
Beberapa menit kemudian. Ia melangkah kembali menuju pelabuhan
“Sudah, so makan radit”. tanya pemilik kapal.
“Oh sudah om”. jawabnya sambil tersenyum mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Oh io, kalao da. Motor so fol tu”. lanjut sang pemilik kapal
“Io om”. jawab Radit sembari bergegas menuju kapal.
Dengan terpaksa ia pun harus melewati hari tanpa menyantap sedikitpun makanan.
Tak sengaja radit berpapasan dengan beberapa anak sebayanya, mereka terlihat sedang asik bercakap-cakap, mata Radit tak pernah lepas memandang, seragam merah putih yang melekat di tubuh mereka mencuri perhatian Radit. Seolah ia ingin sekali berjalan bersama mereka, bergandengan tangan dan tertawa. Namun angannya terhenti, seseorang berteriak ke arahnya “Radit, capat bawa dos itu kemari, tong so terlambat ni”.
“oke, oke” jawab Radit setengah tergesa-gesa.
Ia pun segera memikul kardus tersebut di pundaknya dan berlari menuju pelabuhan. Tampaknya di atas perahu itu, seorang tuan bergaya eropa dengan celana pendek dan topi cowboy sedang membentak-bentak para awak kapal. hari ini, ia beserta keluarganya ingin pergi berekreasi ke salah satu pulau terdekat. Namun kerterlambatan para awak kapal membuat ia begitu kesal. Dengan segera mereka bergegas untuk membereskan semua perlengkapan kapal dan berangkat, radit baru saja ingin melompat ke dok kapal namun ia dimarahi oleh salah satu awak kapal dan disuruh untuk tinggal saja disitu tak perlu ikut. Nampaknya kemarahan Tuan tadi itu berimbas juga padanya. Kapal itu pun berlalu meninggalkan radit sendirian dengan hati yg kelabu.
Sejenak ia diam lalu kambali bersuara, “Bu, Bu mari sini saya bantu, mari saya yang bawa,” kata radit menyodorkan bantuan kepada para penumpang seedboat maupun kapal yg baru saja berlabuh. Terik mentari kian memanas membakar kulit, sejenak ia berteduh di bawah pohon sambil menahan perutnya yang kelaparan. Mendekatlah salah seorang ibu padanya dan berkata “ini ada bakso, dimakan ya”
“tapi bu, saya su tar ada doi mo bayar” jawab radit menolak
“Sudah ambil saja, gak usah bayar, dimakan ya nak” berkata ibu itu dengan senyuman yang penuh kasih sayang.
Radit pun tak bisa menolak lagi, ia sangat bahagia dan segera ia melahap makanan pemberian ibu itu. Sehabis makan, ia lalu membantu mencuci piring dan membersikan dagangan ibu itu. Sebelum pulang si ibu tersebut menyelipkan selembar uang bernilai lima puluh ribu rupiah ke dalam saku bajunya, radit menolak namun lagi lagi ibu itu memaksa. “ibu pulang dulu ya” ucap wanita tua itu sembari berjalan pergi meningglkan radit yang terdiam menatapnya. Tatapannya mengandung arti yang amat dalam, selama ini ia sangat merindukan sosok seorang ibu di dalam hidupnya. Hari ini, ia mendapatkan sedikit kehangatan yang meski tak berselang lama namun cukup untuk membuat dirinya bahagia.
Langit telah menjemput mentari di ufuk barat. Pertanda bulan harus kembali bertugas menemani sang malam. Dan seperti biasa ia pun harus pandai-pandai mencari tempat tidur, sekedar mengistirahatkan aktivitas tubuhnya yang padat. Tak ada yang istimewa yang mampu ia banggakan dalam hidupnya. hanya cemburu, yang kadang tak mampu ia bendung melihat teman-teman sebanya asik bermain tanpa harus memikirkan banyak hal.
“Eeh ade, ade mari dulu,”
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, seseorang yang tampak asing baginya berdiri di dekat parkiran dan melambaikan tangan ke arahnya. Memberi isyarat agar berhenti sebentar, orang asing tersebut pun lalu berjalan mendekatinya.
“Ade pe nama sapa?”.
“Radit kaka.” jawab radit setengah takut , khawatir terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.
“Tinggal di mana kong, jam bagini masih balom pulang” tanyanya melanjutkan
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun radit terpaku dalam kebisuan. Ia tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
“iko kaka mari, tong dua pi pulang tidor di kaka p rumah.” Ucap orang asing itu tanpa menunggu jawaban, tampaknya raut wajah Radit cukup membuatnya mengerti.
Malam semakin larut dan cuaca yang tidak bersahabat membuat udara Bastiong semakin garang, tidak sama sekali memberi pilihan bagi radit selain pergi dan mencari tempat yang layak untuk berlindung.
Setelah berpikir sejenak, Radit lalu mengamati orang asing tersebut. Lelaki itu berperawakan tinggi dengan wajah tampan yang cerah,Tatapannya penuh dengan perhatian seakan ingin merengkuh jiwahnya yang tengah hampa, jiwa yang telah kehilangan warna hidupnya.
“Mangkali kaka ini orang bae-bae k apa”. Pikir Radit dalam hati.
Radit pun mengiyakan ajakan orang asing tersebut, alih-alih mendapatkan perlakuan yang baik. Sesampainya mereka di rumah, Radit kemudian di marahi dan di siksa habis-habisan. dia disuruh bekerja semalaman untuk membersikan rumah, dengan terpaksa ia menyapu dan mengepel lantai rumah di tengah malam buta dengan air mata yang bercucuran. Penyiksaan itu berlanjut, radit sudah berulang kali mencoba untuk lari dari rumah itu. Namun apalah daya ia hanya seorang anak kecil berbadan kurus yang tak mampu berbuat apa-apa. Seminggu kemudian, Radit kembali muncul di pelabuhan. Namun, kali ini bukan untuk melakukan pekerjaan seperti yang biasa ia lakukan. Si orang asing itu memantaunya dari kejauhan. Radit di paksa mencuri dan melakukan hal-hal yang tidak terpuji, radit harus mendapatkan uang yang banyak untuk di setorkan kepada orang asing itu jika tidak ia di ancam akan di bunuh. Mau tak mau radit harus menentang nalurinya sebagai anak yang baik untuk menuruti perintah orang asing tersebut. Berminggu-minggu lamanya radit melakukan perbuatan tersebut. meski banyak uang yang ia hasilkan dari pekerjaan itu namun tidak sedikitpun membuat orang asing tersebut untuk berhenti menyiksa radit di rumahnya.
Jam menunjukkan pukul 12:00, cuaca hari itu panas sekali dan seperti biasa radit kembali menjalankan aktivitasnya yang kini sebagai seorang pencuri. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan, nampak seorang anak kecil di kerumuni masa.
“Papancuri, ana kurang ajar, tra tau diri” kata-kata serupa menggema di udara laut bastiong ternyata hari ini radit tak bernasib baik, ia tertangkap tangan sedang mencuri uang di sebuah warung. Ia di tampar hingga wajahnnya memar, untunglah Polisi segera mengamankannya ke Pos terdekat. Tiba-tiba saja datang seorang pria berkaos putih menembus kerumunan masa, pria tersebut lalu menannyakan jumlah uang yang telah di ambil radit dan bersedia mengganti semua uang tersebut, tanpa berpanjang lebar pria tersebut lalu menjelaskan bahwa, ia sudah lama memperhatikan Radit dan mengetahui semua yang terjadi padanya,
“jadi sebenarnya dalam hal ini, radit hanyalah korban kekejamaan terhadap anak-anak yatim. Dia tidak boleh dipersalahkan sama sekali justru kita yang harus bercermin, bahwa selama ini kita lebih suka untuk hidup sebagai manusia yang kurang memperhatikan satu sama lain”. Ucap pria itu sembari memberikan bukti-bukti berupa foto yang telah ia ambil selama beberapa hari mengintai radit.
Semua orang tertunduk diam dan membisu mendengar uacapan pria itu, beberapa hari kemudian si orang asing penyiksa anak yatim tersebut pun di tangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa radit kini di adopsi oleh sepasang suami-istri kaya raya yang tidak memiliki anak.
Sekian..
No comments:
Post a Comment