Searah Mata Angin
Serasa terperangkap dalam kulkas, sekujur tubuhku menggigil diterpa dinginnya udara pagi.
“udah hampir setengah enam!” ujar seseorang di belakang jok motorku.
“baguslah, sedikit lagi mentari pasti sudah nampak”. Jawabku.
Dengan santainya ku pacu sepeda motor bututku membela sunyinya jalanan kota.
“kayaknya kita gak bakalan nyampe kesana de, sebelum matahari terbit”. Ungkapnya padaku.
“ah, tenang saja, ini udah mo nyampe kok, coba liat-liat papan nama, kita udah di daerah mana ni?, ”
Kami pun terdiam beberapa saat menikmati udara pagi yang sebenarnya menyiksa tubuh.
“Akhirnya sampai juga”. Ungkapnya dengan senyum yang sumringa.
“Liat kan, mataharinya aja belom nongol, Kesana yuk!!”. Sembari ku tarik tangannya menuju sebuah tempat duduk di area itu.
Warna langit yang awalnya gelap mulai terlihat berubah dihiasi warna cerah merah kekuning-kuningan, nampaknya mentari sengaja menahan langkahnya, ia lebih suka mengendap-ngendap perlahan menuju puncaknya, sungguh suatu pemandangan alam yang sempurna.
“Eh liat de, tu mataharinya mulai muncul,”
“Ah, ngaco kamu, bukan di sana tapi di sana,”. Selah ku menunjukkan arah timur yang sebenarnya.
Dengan mengerutkan dahi, “Widdiii, kamu yang ngaco, tu liat mataharinya tu harusnya di sana bukan di sana”. Nampaknya ia pun tak mau mengalah, beberapa saat setelahnya mentari pun muncul dan ternyata tak ada satu pun arah yang kami tunjuk benar. Mentari muncul persis di bagian tengah kedua arah telunjuk.
“liat ”, Saling pandang dan tersenyum.
Selang beberapa menit kemudian kami pun duduk dan memandangi indahnya lukisan tuhan yang maha dasyat itu, sambil beberapa kali berpindah tempat ke tempat duduk yang persis berhadapan dengan mentari di bibir pantai. Hembusan angin pantai di tambah penatnya tubuhku yang tak tidur semalaman membuat mataku cepat sekali meminta jatah, beberapa kali aku tertidur pulas di sampingnya, dan aku tak pernah tahu apa yang ia lakukan pada ku selama itu.
Aku tak sempat lagi berkata-kata, entah kenapa hari itu ia banyak berceloteh, katanya ia lapar tapi malah nyanyi-nyanyi, main tebak-tebakan, ia juga menyuruhku untuk memerintahkannya melakukan beberapa hal konyol yang pasti akan ia turuti, begitu seterusnya. Aku pun hanya mampu berkata ya, tidak, umm, hehe, iya, pasti, oke, dan beberapa kata boros lainnya.
Angka waktu di layar ponselku menunjukkan pukul sebelas tiga puluh.
“Hei balik yuk, udah siang banget ni, udah waktu makan, lapar aku,!”
“ah, bentar lagi dong, baru juga jam segini,”
Mimik wajahnya terlalu menggemaskan, sayang untuk diabaikan, hingga akhirnya diriku hanya mampu mengiyakan.
“Jangan lupa makan ya, kamu rese kalo lapar,”. Sambil tersenyum ku putar arah motor ku dan berlalu meninggalkan dirinya yang juga menatapku penuh syahdu di sebuah gang sempit di belakang rumahnya.
Tak masalah hari itu aku harus pulang berbasah-basahan, mungkin itu cara langit menyapa, kehujanan di jalan bareng dia itu jadi sesuatu yang mengesankan.
“Kita terjebak dalam berbagai macam masalah, terseret dalam suka dan duka, sepanjang jalan kenangan ini diwarnai air mata yang berdarah-darah lalu tawa yang menggema hingga pada akhirnya Semua tercipta untuk menguji pertahanan jiwa, sejauh apa kita menangkap makna.” Tiba-tiba aku tersentak. Lamunanku terkoyak-koyak oleh suara seorang gadis yang berdiri di depan sebuah minimarket sambil meneriakkan namaku.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment