Friday, November 1, 2019

Payung Hantu
Pagi yang menyebalkan, padahal aku baru saja akan bertemu Cinta Laura dalam mimpiku, memang dasar anak semprul.” Keluhku dalam hati.
Tak lama setelah mendengar ocehanku, Anton pun dengan secepat kilat menghilang dari kamar ku. Anton memang begitu, setiap pagi ia selalu saja bergiat untuk membangunkan seluruh penghuni kos, entah motivasi dan filosofi apa yang ada dalam dirinya sehingga menjemput sang fajar di pagi hari sudah menjadi hal terindah yang paling ia dambakan dalam hidupnya. 
Perlahan tapi pasti aku bangkit dari tempat tidur, ku buka jendela dan ku tatap dunia di pagi itu. Entah mungkin sedang galau atau terluka parah, penghuni kamar sebelah ku sudah sejak jam 5 subuh tadi menyetel lagu-lagu yang bernuansa kerinduan dan kekecewaan, aku pun sempat merasa prihatin dengan apa yang tengah ia rasakan, mungkin dia baru saja diselingkuhi atau mungkin saja ditinggal nikah sama pacarnya. Biarlah waktu yang menjawab semuanya. 
Tiba-tiba saja bibirku bergerak-gerak kecil mengikuti ritme gelombang bunyi speaker tetangga ku itu.
“Bila nanti saatnya tlah tiba,
 Ku ngin kau menjadi istriku,
 berjalan bersama melawan terik dan hujan,    
berlarian kesana kemari dan tertawa, 
namun bila saattttt...”  Nyanyianku terhenti, Seorang gadis bercelana biru dan kaos hitam di jalan depan itu mengusik rasa ngantukku
ini baru jam 07:00 pagi, eh, tapi siapa itu, hmm cinta laura kali ya?” tanyaku dalam hati..

2 menit kemudian aku sudah berada di samping gadis itu, dari dekat ia nampak manis sekali. Tak banyak bicara, dengan sedikit menampakkan senyum di wajahnya ia pun kembali melanjutkan larinya yang sempat terhenti.
“hahahaahaha gak salah liat gue, hari apaan ini, Rangga, Rangga, kok bisa-bisanya  ya orang kayak lo mau juga jogging pagi-pagi gini.”  Berkata Anton yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
Aku hanya terdiam menanggapi sindirannya.
“Ah sudahlah mari kita lanjutkan, pagi masih belum berakhir, masih akan tetap ada gadis-gadis lain di Taman Nukila.”  Ajak Anton setengah merayu.
Akhirnya pagi itu ku lalui dengan berlari-larian mengitari taman kota.

Jam menunjukkan pukul 10:12 wit, ku putuskan untuk segera kembali ke kos. 
“Ton, balik yuk, udah mau siang ni, aku ada kulia setengah dua belas nanti.”  
Di tengah perjalanan pulang, entah apa yang ada dipikiran supir angkot yang ku tumpangi, sudah setengah jam aku duduk berdesak-desakkan di dalamnya dan gelombang bunyi speaker yang berkeliaran di kepalaku hanya judul lagu itu saja.
“Apaan si ni Supir, Payung Teduh lagi, Payung Teduh lagi, ni orang udah kehabisan lagu kali ya?”  Pikirku kesal.
Hatiku lega setelah angkot yang ku tumpangi berhenti di depan lorong kos ku. Dengan tak sabar aku pun segera turun, tiba-tiba saja kepala ku berbenturan dengan seorang gadis yang baru saja mau naik ke dalam angkot tersebut.
“Pelan-pelan dong mas, sakit ni.” Gerutu gadis itu sambil mengusap-usap bagian dahinya yang mulai memerah.
Sorri, sorri mbak.” segera ku serahkan selembar uang lima ribuan dan berbalik menuju kos ku, tiba-tiba mata ku menangkap wajah gadis yang memerah tadi, 
“Ah itu kan cewek yang tadi pagi, eh mbak, mbakkk..”  belum sempat ku habiskan kata-kataku, angkot biru tujuan Kelurahan Sasa itu sudah membawanya pergi.
Menatap angkot yang semakin jauh itu, tubuhku menjadi lunglai dan merasakan kekecewaan yang luar biasa.
“Ya sudahlah, mungkin kita masih bisa berjumpah di lain waktu,” kataku mencoba menenangkan kegelisahan di dalam dada. 

Siang itu, cacing-cacing di perutku sudah dua jam melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut keadilan sementara Profesor muda yang ada di depanku belum juga mengakhiri kulianya, rasa-rasanya aku ingin kabur saja dari kelas ini. Sebenarnya hari ini aku malas ke kampus, tapi karena seminggu lagi sudah UAS, mau tidak mau aku harus lebih rajin dari biasanya. Aku sudah 3 kali Alpa di mata kulia ini, semoga saja Bapak Profesor ini mau memberi toleransi.
Anton, Budi, Deni, Siti, Rahma, Ayu, Jhoni, dan kamu Rangga kehadiran kalian sudah kurang dari 80 %, segera temui saya jam 08:00 wit di rumah besok malam.”  Ucap Sang Profesor sambil mengarahkan pandangannya padaku, seolah-olah aku adalah mahasiswa yang paling termalas di kelas ini.
“Baik Pak.” jawab kami serentak.
Sehabis dari kelas aku menuju kantin depan, tampak Anton dan beberapa teman-temannya sedang asik bercengkrama mewacanakan isu-isu penggelapan uang dan korupsi yang terjadi dimana-dimana, tanpa berbasa-basi aku pun ikut nimbrung dalam obrolan mereka. 
“Jadi menurutku Ton, salah satu penyebab maraknya korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara itu tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi keluarga yang cukup tinggi, maksudnya gaya hidup pejabat yang terbilang wow itu juga diwariskan ke seluruh keluarga, sikap memanjakkan anak dan istri inilah yang memaksa mereka untuk harus selalu memiliki uang yang banyak. Misalnya, anak-anak mereka disekolahkan di luar negeri, perbulan mereka harus dikirimi uang yang banyak, kita tahu kan biaya hidup di luar negeri itu mahal!! belum lagi para istri yang setiap bulannya harus beli baju baru, tas baru ditambah lagi alat-alat make up dan perhiasan baru yang serba mahal.” Ucap Rocky, salah satu aktivis Organisasi Mahasiswa terkemuka yang mencoba mengutarakan gagasan idealnya. Tampak teman-teman yang lain serius mendengarkannya. Baru saja ku bakar sebatang rokok di mulut ku, ku tarik dalam-dalam dan ku hembuskan asapnya ke udara.
“iya, aku sependapat denganmu bung, dan lagi pengawasan yang kurannngg....”  kata-kata ku terputus, telingaku terusik gelombang bunyi itu lagi, Bibi Irma Si Pemilik Kantin, baru saja meyetel lagu Payung Teduh dengan volume yang cukup keras dan tak berselang lama gadis manis yang ku lihat tadi pagi itu pun berjalan dengan santainya melewati kursi tempat kami duduk bersama beberapa orang temannya.
“Heeeeee... dasar mata keranjang kau ini, woee diskusi woe.” Teriak anak-anak serentak ke arahku mencoba membuyarkan imajinasi yang berkeliaran di kepalaku.
“Hehe.” Aku hanya tertawa kecil menanggapi tingkah mereka.
Dua jam sebelum arloji di tanganku menunjukkan pukul 08:00 wit, Aku sudah duduk di teras rumah Pak Profesor. Sekilas telingaku menangkap lagu Payung Teduh yang di putar di dalam sebuah angkot yang baru saja lewat.
Ku arahkan pandanganku ke sekeliling mencoba memastikan keberadaan gadis manis itu. tapi tak ada tanda-tanda tentang keberadaanya.
“Ah mungkin kali ini ia tak akan muncul.” Pikirku dalam hati.
Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka dan seseorang yang muncul dari balik pintu itu bersuara,
“Cari siapa mas?”
 “Payung Teduh, eh maksud saya, Pak Profesor.” Aku hampir tak sadarkan diri.

No comments:

Post a Comment