Friday, November 15, 2019

Puisi baru



PUJA

Kekaguman ku mencapai puncak tertinggi 
Ketika senyum dan bingkai pesona dalam matamu 
Menyelimuti kegelisahan hati ini. 
Berbait-bait dan beribu syair malantunkan keindahanmu. 
Kalimat-kalimat rindu yang beruntun. 
Menjama dan merasuk sukma. 
Satu hal terpenting yang kurasakan pada dirimu, 
Ragamu seakan membawa ku pulang.
Mengetuk hatiku untuk menengok ke belakang. 
Tentang sejuta warna yang pudar dan butuh perhatian.
Tentang sejuta tabir yang menyelinap.  
dan rusuk yang membara menanggung kerinduan
 Yang Jawabnya tanpa tanya
Sebab tak ada dalam cinta. 
Alasan terhebat yang mampu lewat logika. 
Inilah caraku mencintaimu
Lewat kehampaan yang tak kan dapat kau baca.
     Meski telah kau tatap mataku

TRIJAN ABD HALIM

Friday, November 1, 2019

Radit- cerpen tentang pahitnya kehidupan anak jalanan

Radit
Terik sinar mentari siang itu tak ia hiraukan, nampak kerumunan orang yang berseliweran dengan seribu satu aktivitas, arus kendaraan darat maupun laut memadati area pelabuhan. Teriakan-teriakan buruh yang menawarkan jasa dan pedagang yang saling berebut tempat untuk menjajakan dagangannya, Tentu membuat mereka yang tidak terbiasa akan menggeleng-gelengkan kepala.
Seolah sudah menjadi rumah terindah yang ia tempati, dengan penuh semangat ia naik dan ikut membantu awak kapal yang mengangkut kendaran roda dua menuju Tidore.
“Woee Radit tarik tali tu” teriak salah satu awak kapal.
Dia pun dengan sigap melakukan apa yang diperintakan. Tak berselang lama kapal pun segera berangkat. Pasang surut gelombang laut diantara pulau Tidore dan Ternate seakan sudah menjadi teman akrabnya setiap hari, tak sedikit pun ada rasa takut dalam dirinya. Ditatapnya laut dengan penuh angan, percaya bahwa suatu saat ia pasti akan menemukan apa yang seharusnya ia temukan.
Sambil menunggu kapal merapat ke pelabuhan, ia memegang tali dan bernyanyi kecil sembari menggoyangkan badannya seirama. Setiap orang yang melihatnya akan berpikir bahwa ia sangat menikmati hidupnya, meski hanya sebagai buru pelabuhan.
Sesampainya kapal di pelabuhan Tidore, tak segan-segan ia pun langsung melompat ke tepian dan membantu para penumpang untuk menurunkan barang-barang bawaan. Radit terlihat sangat cekatan, tingkah lakunya menunjukkan bahwa ia memang sudah sangat terbiasa dengan hal-hal demikian. 
“Ini ngana pe doi dua pulu ni”. Kata pemilik kapal
“Pi la makan kong. deng jang lupa abis itu bale kamari”. lanjutnya
“Makasih om”. jawab radit dengan wajah yang sumringa
Tanpa menunggu lama ia pun bergegas ke rumah makan, maklum sudah sedari tadi ia menahan amarah perutnya yang terus bergejolak minta di isi. Dalam perjalanan ia di hadang oleh beberapa temannya.
“Bagitu ee,, doi banya ee, hmm traktir dulu”. berkata salah seorang dari mereka.
“Ce trada, cuma in....”. Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, uangnya sudah  lenyap dirampas oleh mereka yang langsung berlari meninggalkannya sendiri.
Perlahan menetes dan berguguran air matanya. Ia tak sanggup berbuat apa-apa. Fisiknya yang kecil membuat ia tak berdaya meski berkali-kali dibuli teman-temannya. Tinggalah ia dengan rasa lapar yang semakin membuat kakinya bergetar.
Beberapa menit kemudian. Ia melangkah kembali menuju pelabuhan
“Sudah, so makan radit”. tanya pemilik kapal.
“Oh sudah om”. jawabnya sambil tersenyum mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Oh io, kalao da. Motor so fol tu”. lanjut sang pemilik kapal
“Io om”. jawab Radit sembari bergegas menuju kapal.
Dengan terpaksa ia pun harus melewati hari tanpa menyantap sedikitpun makanan.
Tak sengaja radit berpapasan dengan beberapa anak sebayanya, mereka terlihat sedang asik bercakap-cakap, mata Radit tak pernah lepas memandang, seragam merah putih yang melekat di tubuh mereka mencuri perhatian Radit. Seolah ia ingin sekali berjalan bersama mereka, bergandengan tangan dan tertawa. Namun angannya terhenti, seseorang berteriak ke arahnya “Radit, capat bawa dos itu kemari, tong so terlambat ni”.
“oke, oke” jawab Radit setengah tergesa-gesa. 
Ia pun segera memikul kardus tersebut di pundaknya dan berlari menuju pelabuhan. Tampaknya di atas perahu itu, seorang tuan bergaya eropa dengan celana pendek dan topi cowboy sedang membentak-bentak para awak kapal. hari ini, ia beserta keluarganya ingin pergi berekreasi ke salah satu pulau terdekat. Namun kerterlambatan para awak kapal membuat ia begitu kesal. Dengan segera mereka bergegas untuk membereskan semua perlengkapan kapal dan berangkat, radit baru saja ingin melompat ke dok kapal namun ia dimarahi oleh salah satu awak kapal dan disuruh untuk tinggal saja disitu tak perlu ikut. Nampaknya kemarahan Tuan tadi itu berimbas juga padanya. Kapal itu pun berlalu meninggalkan radit sendirian dengan hati yg kelabu.
Sejenak ia diam lalu kambali bersuara, “Bu, Bu mari sini saya bantu, mari saya yang bawa,” kata radit menyodorkan bantuan kepada para penumpang seedboat maupun kapal yg baru saja berlabuh. Terik mentari kian memanas membakar kulit, sejenak ia berteduh di bawah pohon sambil menahan perutnya yang kelaparan. Mendekatlah salah seorang ibu padanya dan berkata “ini ada bakso, dimakan ya”
“tapi bu, saya su tar ada doi mo bayar” jawab radit menolak
“Sudah ambil saja, gak usah bayar, dimakan ya nak” berkata ibu itu dengan senyuman yang penuh kasih sayang.
Radit pun tak bisa menolak lagi, ia sangat bahagia dan segera ia melahap makanan pemberian ibu itu. Sehabis makan, ia lalu membantu mencuci piring dan membersikan dagangan ibu itu. Sebelum pulang si ibu tersebut menyelipkan selembar uang bernilai lima puluh ribu rupiah ke dalam saku bajunya, radit menolak namun lagi lagi ibu itu memaksa. “ibu pulang dulu ya” ucap wanita tua itu sembari berjalan pergi meningglkan radit yang terdiam menatapnya. Tatapannya mengandung arti yang amat dalam, selama ini ia sangat merindukan sosok seorang ibu di dalam hidupnya. Hari ini, ia mendapatkan sedikit kehangatan yang meski tak berselang lama namun cukup untuk membuat dirinya bahagia.
Langit telah menjemput mentari di ufuk barat. Pertanda bulan harus kembali bertugas menemani sang malam. Dan seperti biasa ia pun harus pandai-pandai mencari tempat tidur, sekedar mengistirahatkan aktivitas tubuhnya yang padat. Tak ada yang istimewa yang mampu ia banggakan dalam hidupnya. hanya cemburu, yang kadang tak mampu ia bendung melihat teman-teman sebanya asik bermain tanpa harus memikirkan banyak hal.
“Eeh ade, ade mari dulu,”
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, seseorang yang tampak asing baginya berdiri di dekat parkiran dan melambaikan tangan ke arahnya. Memberi isyarat agar berhenti sebentar, orang asing tersebut pun lalu berjalan mendekatinya.
“Ade pe nama sapa?”.
“Radit kaka.” jawab radit setengah takut , khawatir terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.
“Tinggal di mana kong, jam bagini masih balom pulang” tanyanya melanjutkan
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun radit terpaku dalam kebisuan. Ia tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
“iko kaka mari, tong dua pi pulang tidor di kaka p rumah.” Ucap orang asing itu tanpa menunggu jawaban, tampaknya raut wajah Radit cukup membuatnya mengerti.
Malam semakin larut dan cuaca yang tidak bersahabat membuat udara Bastiong semakin garang, tidak sama sekali memberi pilihan bagi radit selain pergi dan mencari tempat yang layak untuk berlindung.
Setelah berpikir sejenak, Radit lalu mengamati orang asing tersebut. Lelaki itu berperawakan tinggi dengan wajah tampan yang cerah,Tatapannya penuh dengan perhatian seakan ingin merengkuh jiwahnya yang tengah hampa, jiwa yang telah kehilangan warna hidupnya.
“Mangkali kaka ini orang bae-bae k apa”. Pikir Radit dalam hati.
Radit pun mengiyakan ajakan orang asing tersebut, alih-alih mendapatkan perlakuan yang baik. Sesampainya mereka di rumah, Radit kemudian di marahi dan di siksa habis-habisan. dia disuruh bekerja semalaman untuk membersikan rumah, dengan terpaksa ia menyapu dan mengepel lantai rumah di tengah malam buta dengan air mata yang bercucuran. Penyiksaan itu berlanjut, radit sudah berulang kali mencoba untuk lari dari rumah itu. Namun apalah daya ia hanya seorang anak kecil berbadan kurus yang tak mampu berbuat apa-apa. Seminggu kemudian, Radit kembali muncul di pelabuhan. Namun, kali ini bukan untuk melakukan pekerjaan seperti yang biasa ia lakukan. Si orang asing itu memantaunya dari kejauhan. Radit di paksa mencuri dan melakukan hal-hal yang tidak terpuji, radit harus mendapatkan uang yang banyak untuk di setorkan kepada orang asing itu jika tidak  ia di ancam akan di bunuh. Mau tak mau radit harus menentang nalurinya sebagai anak yang baik untuk menuruti perintah orang asing tersebut. Berminggu-minggu lamanya radit melakukan perbuatan tersebut. meski banyak uang yang ia hasilkan dari pekerjaan itu namun tidak sedikitpun membuat orang asing tersebut untuk berhenti menyiksa radit di rumahnya.
Jam menunjukkan pukul 12:00, cuaca hari itu panas sekali dan seperti biasa radit kembali menjalankan aktivitasnya yang kini sebagai seorang pencuri. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan, nampak seorang anak kecil di kerumuni masa.
“Papancuri, ana kurang ajar, tra tau diri” kata-kata serupa menggema di udara laut bastiong ternyata hari ini radit tak bernasib baik, ia tertangkap tangan sedang mencuri uang di sebuah warung. Ia di tampar hingga wajahnnya memar, untunglah Polisi segera mengamankannya ke Pos terdekat. Tiba-tiba saja datang seorang pria berkaos putih menembus kerumunan masa, pria tersebut lalu menannyakan jumlah uang yang telah di ambil radit dan bersedia mengganti semua uang tersebut, tanpa berpanjang lebar pria tersebut lalu menjelaskan bahwa, ia sudah lama memperhatikan Radit dan mengetahui semua yang terjadi padanya, 
“jadi sebenarnya dalam hal ini, radit hanyalah korban kekejamaan terhadap anak-anak yatim. Dia tidak boleh dipersalahkan sama sekali justru kita yang harus bercermin, bahwa selama ini kita lebih suka untuk hidup sebagai manusia yang kurang memperhatikan satu sama lain”. Ucap pria itu sembari memberikan bukti-bukti berupa foto yang telah ia ambil selama beberapa hari mengintai radit. 
Semua orang tertunduk diam dan membisu mendengar uacapan pria itu, beberapa hari kemudian si orang asing penyiksa anak yatim tersebut pun di tangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa radit kini di adopsi oleh sepasang suami-istri kaya raya yang tidak memiliki anak. 
Sekian..

Episode-1/ new Cerpen

Searah Mata Angin

Serasa terperangkap dalam kulkas, sekujur tubuhku menggigil diterpa dinginnya udara pagi.  
“udah hampir setengah enam!” ujar seseorang di belakang jok motorku.
“baguslah, sedikit lagi mentari pasti sudah nampak”. Jawabku.

Dengan santainya ku pacu sepeda motor bututku membela sunyinya jalanan kota. 
“kayaknya kita gak bakalan nyampe kesana de, sebelum matahari terbit”. Ungkapnya padaku.
“ah, tenang saja, ini udah mo nyampe kok, coba liat-liat papan nama, kita udah di daerah mana ni?, ”

Kami pun terdiam beberapa saat menikmati udara pagi yang sebenarnya menyiksa tubuh.
“Akhirnya sampai juga”. Ungkapnya dengan senyum yang sumringa.
 “Liat kan, mataharinya aja belom nongol, Kesana yuk!!”. Sembari ku tarik tangannya menuju sebuah tempat duduk di area itu. 
Warna langit yang awalnya gelap mulai terlihat berubah dihiasi warna cerah merah kekuning-kuningan, nampaknya mentari sengaja menahan langkahnya, ia lebih suka mengendap-ngendap perlahan menuju puncaknya, sungguh suatu pemandangan alam yang sempurna.
“Eh liat de, tu mataharinya mulai muncul,”
“Ah, ngaco kamu, bukan di sana tapi di sana,”. Selah ku menunjukkan arah timur yang sebenarnya.
Dengan mengerutkan dahi, “Widdiii, kamu yang ngaco, tu liat mataharinya tu harusnya di sana bukan di sana”. Nampaknya ia pun tak mau mengalah, beberapa saat setelahnya mentari pun muncul dan ternyata tak ada satu pun arah yang kami tunjuk benar. Mentari muncul  persis di bagian tengah kedua arah telunjuk.
“liat ”, Saling pandang dan tersenyum.

Selang beberapa menit kemudian kami pun duduk dan memandangi indahnya lukisan tuhan yang maha dasyat itu, sambil beberapa kali berpindah tempat ke tempat duduk yang persis berhadapan dengan mentari di bibir pantai. Hembusan angin pantai di tambah penatnya tubuhku yang tak tidur semalaman membuat mataku cepat sekali meminta jatah, beberapa kali aku tertidur pulas di sampingnya, dan aku tak pernah tahu apa yang ia lakukan pada ku selama itu.

Aku tak sempat lagi berkata-kata, entah kenapa hari itu ia banyak berceloteh, katanya ia lapar tapi malah nyanyi-nyanyi, main tebak-tebakan, ia juga menyuruhku untuk memerintahkannya melakukan beberapa hal konyol yang pasti akan ia turuti, begitu seterusnya. Aku pun hanya mampu berkata ya, tidak, umm, hehe, iya, pasti, oke, dan beberapa kata boros lainnya. 

Angka waktu di layar ponselku menunjukkan pukul sebelas tiga puluh.
“Hei balik yuk, udah siang banget ni, udah waktu makan, lapar aku,!” 
“ah, bentar lagi dong, baru juga jam segini,”
Mimik wajahnya terlalu menggemaskan, sayang untuk diabaikan, hingga akhirnya diriku hanya mampu mengiyakan.

    “Jangan lupa makan ya, kamu rese kalo lapar,”. Sambil tersenyum ku putar arah motor ku dan berlalu meninggalkan dirinya yang juga menatapku penuh syahdu di sebuah gang sempit di belakang rumahnya.

Tak masalah hari itu aku harus pulang berbasah-basahan, mungkin itu cara langit menyapa, kehujanan di jalan bareng dia itu jadi sesuatu yang mengesankan. 

“Kita terjebak dalam berbagai macam masalah, terseret dalam suka dan duka, sepanjang jalan kenangan ini diwarnai air mata yang berdarah-darah lalu tawa yang menggema hingga pada akhirnya Semua tercipta untuk menguji pertahanan jiwa, sejauh apa kita menangkap makna.” Tiba-tiba aku tersentak. Lamunanku terkoyak-koyak oleh suara seorang gadis yang berdiri di depan sebuah minimarket sambil meneriakkan namaku.

Bersambung....

Payung Hantu
Pagi yang menyebalkan, padahal aku baru saja akan bertemu Cinta Laura dalam mimpiku, memang dasar anak semprul.” Keluhku dalam hati.
Tak lama setelah mendengar ocehanku, Anton pun dengan secepat kilat menghilang dari kamar ku. Anton memang begitu, setiap pagi ia selalu saja bergiat untuk membangunkan seluruh penghuni kos, entah motivasi dan filosofi apa yang ada dalam dirinya sehingga menjemput sang fajar di pagi hari sudah menjadi hal terindah yang paling ia dambakan dalam hidupnya. 
Perlahan tapi pasti aku bangkit dari tempat tidur, ku buka jendela dan ku tatap dunia di pagi itu. Entah mungkin sedang galau atau terluka parah, penghuni kamar sebelah ku sudah sejak jam 5 subuh tadi menyetel lagu-lagu yang bernuansa kerinduan dan kekecewaan, aku pun sempat merasa prihatin dengan apa yang tengah ia rasakan, mungkin dia baru saja diselingkuhi atau mungkin saja ditinggal nikah sama pacarnya. Biarlah waktu yang menjawab semuanya. 
Tiba-tiba saja bibirku bergerak-gerak kecil mengikuti ritme gelombang bunyi speaker tetangga ku itu.
“Bila nanti saatnya tlah tiba,
 Ku ngin kau menjadi istriku,
 berjalan bersama melawan terik dan hujan,    
berlarian kesana kemari dan tertawa, 
namun bila saattttt...”  Nyanyianku terhenti, Seorang gadis bercelana biru dan kaos hitam di jalan depan itu mengusik rasa ngantukku
ini baru jam 07:00 pagi, eh, tapi siapa itu, hmm cinta laura kali ya?” tanyaku dalam hati..

2 menit kemudian aku sudah berada di samping gadis itu, dari dekat ia nampak manis sekali. Tak banyak bicara, dengan sedikit menampakkan senyum di wajahnya ia pun kembali melanjutkan larinya yang sempat terhenti.
“hahahaahaha gak salah liat gue, hari apaan ini, Rangga, Rangga, kok bisa-bisanya  ya orang kayak lo mau juga jogging pagi-pagi gini.”  Berkata Anton yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
Aku hanya terdiam menanggapi sindirannya.
“Ah sudahlah mari kita lanjutkan, pagi masih belum berakhir, masih akan tetap ada gadis-gadis lain di Taman Nukila.”  Ajak Anton setengah merayu.
Akhirnya pagi itu ku lalui dengan berlari-larian mengitari taman kota.

Jam menunjukkan pukul 10:12 wit, ku putuskan untuk segera kembali ke kos. 
“Ton, balik yuk, udah mau siang ni, aku ada kulia setengah dua belas nanti.”  
Di tengah perjalanan pulang, entah apa yang ada dipikiran supir angkot yang ku tumpangi, sudah setengah jam aku duduk berdesak-desakkan di dalamnya dan gelombang bunyi speaker yang berkeliaran di kepalaku hanya judul lagu itu saja.
“Apaan si ni Supir, Payung Teduh lagi, Payung Teduh lagi, ni orang udah kehabisan lagu kali ya?”  Pikirku kesal.
Hatiku lega setelah angkot yang ku tumpangi berhenti di depan lorong kos ku. Dengan tak sabar aku pun segera turun, tiba-tiba saja kepala ku berbenturan dengan seorang gadis yang baru saja mau naik ke dalam angkot tersebut.
“Pelan-pelan dong mas, sakit ni.” Gerutu gadis itu sambil mengusap-usap bagian dahinya yang mulai memerah.
Sorri, sorri mbak.” segera ku serahkan selembar uang lima ribuan dan berbalik menuju kos ku, tiba-tiba mata ku menangkap wajah gadis yang memerah tadi, 
“Ah itu kan cewek yang tadi pagi, eh mbak, mbakkk..”  belum sempat ku habiskan kata-kataku, angkot biru tujuan Kelurahan Sasa itu sudah membawanya pergi.
Menatap angkot yang semakin jauh itu, tubuhku menjadi lunglai dan merasakan kekecewaan yang luar biasa.
“Ya sudahlah, mungkin kita masih bisa berjumpah di lain waktu,” kataku mencoba menenangkan kegelisahan di dalam dada. 

Siang itu, cacing-cacing di perutku sudah dua jam melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut keadilan sementara Profesor muda yang ada di depanku belum juga mengakhiri kulianya, rasa-rasanya aku ingin kabur saja dari kelas ini. Sebenarnya hari ini aku malas ke kampus, tapi karena seminggu lagi sudah UAS, mau tidak mau aku harus lebih rajin dari biasanya. Aku sudah 3 kali Alpa di mata kulia ini, semoga saja Bapak Profesor ini mau memberi toleransi.
Anton, Budi, Deni, Siti, Rahma, Ayu, Jhoni, dan kamu Rangga kehadiran kalian sudah kurang dari 80 %, segera temui saya jam 08:00 wit di rumah besok malam.”  Ucap Sang Profesor sambil mengarahkan pandangannya padaku, seolah-olah aku adalah mahasiswa yang paling termalas di kelas ini.
“Baik Pak.” jawab kami serentak.
Sehabis dari kelas aku menuju kantin depan, tampak Anton dan beberapa teman-temannya sedang asik bercengkrama mewacanakan isu-isu penggelapan uang dan korupsi yang terjadi dimana-dimana, tanpa berbasa-basi aku pun ikut nimbrung dalam obrolan mereka. 
“Jadi menurutku Ton, salah satu penyebab maraknya korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara itu tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi keluarga yang cukup tinggi, maksudnya gaya hidup pejabat yang terbilang wow itu juga diwariskan ke seluruh keluarga, sikap memanjakkan anak dan istri inilah yang memaksa mereka untuk harus selalu memiliki uang yang banyak. Misalnya, anak-anak mereka disekolahkan di luar negeri, perbulan mereka harus dikirimi uang yang banyak, kita tahu kan biaya hidup di luar negeri itu mahal!! belum lagi para istri yang setiap bulannya harus beli baju baru, tas baru ditambah lagi alat-alat make up dan perhiasan baru yang serba mahal.” Ucap Rocky, salah satu aktivis Organisasi Mahasiswa terkemuka yang mencoba mengutarakan gagasan idealnya. Tampak teman-teman yang lain serius mendengarkannya. Baru saja ku bakar sebatang rokok di mulut ku, ku tarik dalam-dalam dan ku hembuskan asapnya ke udara.
“iya, aku sependapat denganmu bung, dan lagi pengawasan yang kurannngg....”  kata-kata ku terputus, telingaku terusik gelombang bunyi itu lagi, Bibi Irma Si Pemilik Kantin, baru saja meyetel lagu Payung Teduh dengan volume yang cukup keras dan tak berselang lama gadis manis yang ku lihat tadi pagi itu pun berjalan dengan santainya melewati kursi tempat kami duduk bersama beberapa orang temannya.
“Heeeeee... dasar mata keranjang kau ini, woee diskusi woe.” Teriak anak-anak serentak ke arahku mencoba membuyarkan imajinasi yang berkeliaran di kepalaku.
“Hehe.” Aku hanya tertawa kecil menanggapi tingkah mereka.
Dua jam sebelum arloji di tanganku menunjukkan pukul 08:00 wit, Aku sudah duduk di teras rumah Pak Profesor. Sekilas telingaku menangkap lagu Payung Teduh yang di putar di dalam sebuah angkot yang baru saja lewat.
Ku arahkan pandanganku ke sekeliling mencoba memastikan keberadaan gadis manis itu. tapi tak ada tanda-tanda tentang keberadaanya.
“Ah mungkin kali ini ia tak akan muncul.” Pikirku dalam hati.
Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka dan seseorang yang muncul dari balik pintu itu bersuara,
“Cari siapa mas?”
 “Payung Teduh, eh maksud saya, Pak Profesor.” Aku hampir tak sadarkan diri.

Rakal-New Cerpen

Rakal

Pukul 10:00 wit pm.
“Woe brengsek, jahannam, anjeeeeeeeeng Lo semua”,  
puffftthhhh... punngggggg..... panggggg.... 
Suasana tak lagi menentu
Reza terpelanting dengan kepala yang penuh darah, emosi ku meningkat, ku tarik kerak baju lawan dan ku hajar sampai hampir tak bernapas.
“Dani awassssss” Teriak Ravel ke arahku. nampaknya dari belakang ada seorang pria yang ingin menendang ku tapi tak sempat, Broken sudah lebih dulu memukulnya dengan kayu. 
Pertempuran begitu sengit. Tiba-tiba terdengar suara  yang tak asing, mobil polisi datang dan kami pun berhamburan menyelamatkan diri. kaki ku lecet terkena paku di jalanan begitu pun Ravel, Reza dan Riski yang terkena lemparan batu di kepala dan tangan.
Tanpa pikir panjang kami pun menuju ke Laguna, salah satu Bar terkenal yang ada di daerah itu, Sebagai bentuk perayaan atas kemenangan. kami memesan beberapa botol bir sekaligus dengan pelayan-pelayan wanitanya. malam Itu kami lalui dengan penuh kegembiraan. Berdarah-darah bahkan hampir mati sudah menjadi makanan sehari-hari tak ada sedikitpun rasa gentar justru itu adalah motivasi untuk menjadi lebih tangguh, maklum kami kaum kiri yang berideologi hukum rimba.
“Hahahahaa berapa orang, yang Lo pukul tadi, hmmm”. Tanya Broken sambil menelan segelas Vodka di tangannya. 
Andi : gue tiga bro
Reza : lima orang kalo gue,
Ravel : hmm kalo gue berapa yaa?? Sambil menaikkan alis mata mengingat-ingat kejadian tadi.
Kalo lo Dan?”. Tangan Broken menunjuk kearah ku, sebagai seorang ketua dalam geng ia selalu melakukan evaluasi rutin untuk menilai kinerja anggota dalam setiap aksi yang dilakukan.
“Hehe kalo gak salah tadi gue empat orang  de. Sialan, padahal gue lagi ngebet banget pengen nonjok bos geng abal-abal itu. Polisi malah keburu datang,”
“Ya udah gak usah dipikirin,” Sela Broken.
“Nanti lain waktu aja, kita hajar mereka sampe mampus, yang penting mereka yang udah K.O, jadi untuk malam ini kita happy-happy aja dulu. oke”. Sambungnya
“Okeee “.  Serentak beramai-ramai.

Keesokan harinya.
Jam dinding menunjukan pukul 10:00 wib, 
 “Anak-anak udah ngumpul ni, Lo dimna Dan?.  Ku tengok isi sms broken di ponsel ku.
Tak lama kemudian ku temui mereka di markas besar tepat di sekretariat BEM Fakultas, iya kami adalah sekumpulan mahasiswa yang memliki kesamaan dalam hal kegemaran dan bakat yang sama, bisa di bilang premanisme, kriminalis, pragmatis,  dan hal-hal yang tidak bermanfaat lainnya sudah menjadi darah dan daging dalam tubuh kami. Tak lengkap hari-hari yang kami lalui tanpa keributan dan kekacauan. Untungnya Ayah broken adalah Rektor di Universitas tempat kami berstudi hingga kami jauh dari kata D.O. Meski berulang kali bertingkah, mulai dari mengerjai dosen, tidak kuliah berbulan-bulan, menggoda gadis-gadis kampus dengan bahasa yang tidak sopan sampai mencuri mobil dinas sang Rektor.

“Gue tunggu disini aja ya, masih ngantuk ne Bro”. Kata ku kepada Broken yang mengajak kami untuk berkeliling siang itu. Sebagai preman dan sekaligus penguasa kampus. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kami untuk melakukan patroli demi menjaga stabilitas keamanan wilayah teritorial dari gangguan kelompok separatis maupun gerakan-gerakan profokatif lainnya.
“Mbak kopi hitamnya satu ya??”. Sambil menunggu mereka kembali, ku hisap dalam-dalam lalu ku hembuskan beberapa kepulan asap yang berbentuk balon bulat dari mulutku.
“Hmmm.. Benar kata Bung Karno, dengan sebatang rokok dan secangkir kopi ternyata mampu mengguncang dunia”. Dengan pemahaman yang pas-pasan ku coba untuk menjabarkan sedikit makna kalimat tersebut dalam perspektif yang lumayan relevan. Entah apa kata orang.
Tiba-tiba saja ada seorang gadis yang berteriak ke arahku.
 “Mas boleh nggak! Kalo nggak ngerokok disini! Asapnya mengganggu, tau.”
Dengan tatapan kosong penuh keheranan ku perhatikan wajah itu. “Berani sekali ni cewek negor gue? Nggak kenal gue kali ya??” batin ku memberontak dalam kebingungan.
Mengenakan baju dan celana yang sederhana sambil memeluk beberapa buku setebal batu bata didadanya ia pun berlalu dari hadapanku. Dengan perawakannya yang terlihat sangat sopan membuat ku terdiam dan terus memandang ke arahnya.
Sudah seminggu sejak kejadian itu diam-diam ku amati dia dari kejauhan, ternyata namanya Ayu Puspariani, Mahasiswi semester pertama program Studi Manajemen Informatika. Dengan beberapa kebiasaan yang sering ia lakukan ke kampus pukul 08:00  mengikuti kulia, ke kantin, perpustakaan lalu akan pulang pada pukul 05:00 sore dan selalu saja seperti itu. 
“Rupa-rupanya tidak ada yang spesial dalam diri gadis ini” gumamku dalam hati.
Entah kenapa aku selalu memikirkan dia, siang dan malam. Ia menjadi tema yang sulit terurai di pikiranku. Tapi aku yakin ini bukan cinta sebab aku punya banyak wanita diluar sana yang selalu siap menjadi pelipur lara dikala sedih sedang melanda. Aku sadar wanita memang bukan bahan hiburan tapi nafsu bejat tak bertanggung jawab kadang memaksaku melakukannya.

Hari ini hari Saptu dan aku sama sekali tak punya mood, semua terasa hampa. Entahlah mungkin semalam aku kurang tidur. Ku pandang langit biru, wahh ternyata langit tidak biru. Ini musim hujan dan sudah pasti susah untuk menjumpainya.
Cuaca mulai mendung, dan anak-anak tak kunjung datang. akhirnya ku putuskan untuk kembali ke kos.

“Auww” teriakku.
Terasa ada tangan halus yang menyentuh kepalaku. Seluruh badanku terasa sakit dan menggigil, aku kembali terpaku saat ku tahu pemilik tangan itu ialah Ayu, si gadis kutu buku yang suka menghabiskan waktunya berjam-jam di perpustakaan. 
“Gila, ini gak mungkin, kok dia lagi sihh” kataku dalam hati
“Makannya Mas Dani, hidup itu jangan suka cari musuh, kita harus mampu menciptakan ketentraman, keamanan, mempererat tali silahturahim dan yang paling penting kita harus cinta damai, apalagi kita kan mahasiswa, sudah seharusnya kita menunjukan hal-hal yang baik di mata masyarakat” Ayu menasehatiku sambil mengobati luka di sekujur tubuh. 
Aku baru ingat karena sendirian di perjalanan tadi geng lawan mengambil kesempatan untuk balas dendam atas kekalahan mereka.
“Udah Mas, sekarang udah boleh pulang” ucapnya membuyarkan lamunanku
“Emangnya gue dimana ni?? Tanyaku
“Hmm tadi  habis berkelahi Mas pingsan jadi Ayu minta bantu teman-teman buat bawa kesini aja dulu, soalnya Ayu nggak tau Mas tinggalnya dimana”. Jawab Ayu dengan irama yang mendayu-dayu, memicu kontrol sarafku untuk tidur lagi.
“Mampus gue, ni cewek lembutnya kebangatan” gerutuku dalam hati
“Kenapa mas?” tanyanya “kok ngelamun gitu” 
Owh nggak kok, nggak apa-apa.” Dengan terbata-bata ku jawab pertanyaannya lalu aku pun bangkit dan bergegas untuk pulang.
“Makasi ya Yu, Lo uda nolongin gue, sekali lagi makasih ya”. Kataku 
“Gue pamit pulang dulu ya”
“iya sama-sama, hati-hati dijalan ya Mas” jawabnya.
Dan tanpa disadari mulai terjalin keakraban. Sejak saat itu tak terhitung lagi sudah terlewat berapa bulan waktu yang ku habiskan bersama ayu, aku mulai terbiasa dengan sikap dan tingka laku Ayu,  banyak hal yang kami bahas baik itu tentang hobbi, kebiasaan dan beragam topik lainnya, karena sering diajak ayu, aku pun harus merelakan diri terjebak di perpustakaan, semeja berdua di kantin, dan perlahan timbul ketertarikan dengan hal-hal di dunia akademik. Seperti membaca buku. Aktif di kegiatan-kegiatan kampus dan semacamnya.
“Yu, Lo ngerasa ada yang aneh nggak tentang gue??
“Aneh kenapa Mas” jawabnya
“Ya gini, Lo bisa liat sendiri kan, gue bisa duduk  disini bareng Lo, buat ini, itu, ngobrol ini, ngobrol itu”  aku menjelaskan
“Oh itu to masalahnya, itu kan lebih bagus, lebih bermanfaat, daripada keluyuran gak karuan, iya kan” jawabnya.
“Iya si, tapi gue ngerasainnya kayak gimana gitu. Gue kayak gak percaya aja, beda banget tau nggak sama gue yang dulu” 
“Mas.. Mas.. gimana sih  kok mikirnya kayak gitu, ya semoga aja tetap kayak gini, Mas Dani itu harus nyadar kalo ini udah saatnya untuk berubah” jawabnya
“Tapi gini Yu.. 
“Tapi apalagi to Mas, kan udah Ayu bilngin tadi?? memotong ucapanku.   
“Gue itu suka ama Lo Yu. Ngerti nggak!!” upsss.... kata-kata itu pun tergelincir begitu saja dari bibirku, aku terdiam menyadari apa yang baru saja ku katakan begitu pun dengan Ayu. Hening seketika.
“Yu Lo mau nggak jadi pacar gue? Gue udah jatuh hati ama Lo yu. Gue udah coba berkali-kali ngingkarin perasaan ini, tapi tetap aja, gue kagak bisa, aku sayang kamu Ayu.” Lanjutku memecah keheningan. 
“Lo mau kan?, jangan diam aja dong! Plis dijawab, gue janji. gue bakal lakuin semua yang Lo mau. Gue bakalan berubah, gue akan jadi lebih baik Yu.”
“Hmm tapi janji ya. Mas Dani harus berubah, gak boleh kayak dulu-dulu lagi!!”jawabnya lembut
“Pasti Yu. Gue janji, 
“Jadi gimana, Lo udah terima Gue kan.?” 
“Iya.” Jawabnya singkat.
Hari-hariku dipenuhi oleh seribu warna kehidupan, kembalinya satu bagian hidupku yang pernah hilang. “Oh Ayu engkau begitu Ayu”.

Satu pukulan mendarat dipipiku  “auwww” pekikku
“Owhh jadi sekarang Lo udah punya teman baru”. Teriak Broken dihadapanku. Diiringi Andi, Reza, dan Ravel di belakangnya
“Jadi ini alasannya, Lo udah jarang sama kita-kita, hmm penghianat Lo. Nyesal gue punya teman kayak Lo, Bajingggaaaannnn”.
Tanpa mendengar sepatah kata pun keluar dari bibirku mereka langsung pergi begitu saja. Aku pun tak sanggup berbuat apa-apa. Hanya bisa terpaku dan diam.
Otakku bekerja keras memikirkan hal ini. 
Tiba-tiba terdengar teriakan di gerbang fakultas. Seluruh mahasiswa  di hebohkan dengan tawuran antar dua kelompok yang ternyata adalah geng Broken dan musuh bebuyutannya. Dari kejauhan. mata ku menangkap sosok Broken yang sudah jatuh tergeletak di jalan, 
Dengan sekuat tenaga aku berlari dan bergabung melawan geng brengsek itu. perkelahian pun tak terelahkan lagi. banyak korban berjatuhan di kedua kelompok.  
Ayu datang  menghampiriku dengan air mata
 “Jadi ini yang Mas janjiin ke Ayu?? Hah. Katanya mau berubah? Katanya mau lebih baik, tapi mana? Bentaknya
“ Heiiiiiii... Lo buta, nggak liat keadaan sekarang?? Masa gue diam aja, pikir dong? Pake otak.” 
“Oh, iya Mas, Ayu ngerti kok, mulai sekarang Ayu gak bakalan minta apa-apa lagi, terserah Mas aja, mo ngapain. sekaranggg, juga  kita putusss.....
Satu hal yang Ayu mau bilang. Kalau dendam dibalas dendam selamahnya tidak akan pernah berakhir,  dan kalau mas masih tetap seperti ini hidup mas nggak akan pernah berubah, ingat itu”.

“Tok..tok.. permisi Pak”.
Terdengar suara ketukan di pintu kantor. Ingatanku ku berhamburan, alam nyata membawa ku lari dari lamunan. Inilah keadaan saat ini. Jam dinding menunujukan pukul 02:23 wit. ku coba bangkit dan menuju ke pintu. rupanya Edi, salah satu staf  kepresidenan yang paling aku percayai.
“Iya kenapa, Edi?? Sahutku  seraya membuka pintu, 
“Ini pak ada undangan dari PBB katanya akan di laksanakan rapat dengan seluruh pemimpin –pemimpin negara besok pagi pukul 08:00 di New York Pak. Olehnya itu diminta kesediaan bapak  untuk menghadiri acara tersebut.” Terangnya.

“SELESAI”